Siapa Suruh Jadi PNS?**
Mhd. Zamal Nasution*
Tulisan ini dimaksudkan untuk menyadarkan publik bahwa profesi Pegawai  Negeri Sipil (PNS) mirip dengan profesi lainnya yang seringkali dicinta  sekaligus dibenci, dan yang dipuji sekaligus dihujat. Tetapi yang  terpenting bahwa PNS adalah penyelenggara negara ini sehingga mutlak  direvitalisasi.
Dualisme Sikap Publik
Lazim terlihat pada  setiap musim penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) antrian  peserta ujian yang menunjukkan hasrat dan antusiasme besar untuk menjadi  PNS. Buat sebagian keluarga, menjadi pegawai negeri merupakan fardhu  ‘ain status terhormat terutama bagi penyandang gelar sarjana. Status PNS  diperebutkan bahkan bagi yang sudah bekerja sekalipun. Seakan-akan PNS  merupakan sejatinya pekerjaan. Mengapa harus PNS? Jawabnya, karena PNS  identik dengan kepastian gaji, fasilitas dan tunjangan, ditambah jaminan  uang pensiun. Belum lagi pengajuan kredit yang gampang disetujui.
Kecintaan yang begitu tinggi pada profesi PNS dapat ditelusuri hingga  ke era kolonial, dimana pribumi berebut menjadi pegawai negeri  (ambtenaar) yang sering disebut juga priyayi karena tergiur fasilitas,  gaji, hak-hak istimewa, serta penghormatan. Menjadi ambtenaar itu  jabatan terhormat, sebab ia menjadi bagian dari kekuasaan (penguasa).  Ambtenaar selalu dikawal para centeng dan dipayungi bak pangeran. Pada  masa itu memang hanya golongan bangsawan saja yang berhak menjadi  ambtenaar, sebelum pendidikan membuka kesempatan  bagi golongan  non-bangsawan.
Sejatinya PNS adalah setiap warga negara  Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat  oleh pejabat yang diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau  diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang  berlaku (UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8  Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian). Untuk itu, negara  menyediakan anggaran pembiayaan buat seluruh PNS yang berjumlah sekitar  4.73 juta di seluruh Indonesia. Tahun ini saja, negara mengganggarkan Rp  215,73 triliun atau 22.36 persen dari total belanja pemerintah pusat  yang besarnya Rp 965 triliun.
Masalah Kronis
Keberadaan PNS  sebagai aparat penyelenggara negara selain dibutuhkan, ternyata juga  menjadi masalah. Kuantitas yang begitu besar berdampak pada inefisiensi,  seperti dinyatakan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan  Reformasi Birokrasi bahwa dari 4,7 juta jumlah PNS hanya lima persen  yang kompeten. Berkaitan dengan jiwa melayani ternyata masih banyak PNS  yang menganut budaya jika bisa dipersulit kenapa dipermudah. Bahkan  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan  dugaan adanya rekening gendut milik PNS muda berusia kurang dari 30  tahun berisi miliaran rupiah. Maka tak heran jika Presiden SBY akhirnya  berkomentar bahwa birokrasi menjadi salah satu penghalang tercapainya  pertumbuhan ekonomi yang optimal, selain masalah korupsi dan buruknya  infrastruktur.
Permasalahan seputar PNS saat ini, setidaknya  bersumber dari tiga persoalan mendasar yakni: (1) penambahan jumlah  pegawai tidak diimbangi perluasan volume beban pekerjaan sehingga  menyebabkan banyak PNS yang ‘menganggur’; (2) pola insentif yang tidak  membedakan pegawai berdasarkan kinerja sehingga timbul pameo ‘pintar  goblok pendapatan sama’; (3) pola rekrutmen CPNS yang rawan korupsi  kolusi nepotisme (KKN) sehingga menghasilkan PNS berkompetensi rendah.  Jadi selain persoalan pendapatan/kesejahteraan, banyak turunan  permasalahan yang terjadi akibat persoalan non-materiil yang tidak  terjawab hanya dengan kenaikan pendapatan. Studi Bank Dunia tahun 2001  membuktikan asumsi ini, dimana rata-rata pendapatan PNS sudah 42% lebih  tinggi dibanding pekerja swasta meski  tingkat produktivitasnya lebih  rendah.
Pilihan Sulit
Berdasarkan uraian kenyataan di atas,  diperlukan suatu upaya untuk membersihkan citra negatif PNS, dan mulai  membentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui upaya  sistematis, tegas, dan komprehensif. Untuk itu, harus ditumbuhkan  motivasi bekerja untuk melayani rakyat, bukan bekerja untuk penguasa  seperti di era kolonial. Mekanisme carrot and stick harus tegas  ditegakkan agar PNS yang profesional,  amanah, dan berani mendapatkan  penghargaan. PNS yang bermental pecundang harus dihukum, bukan  sebaliknya. Kejadian yang melibatkan oknum PNS secara terang benderang  diungkap media massa, dimana tertukarnya carrot kepada oknum PNS yang  seharusnya dipukul stick.
Pilihan berikutnya yakni paket  reformasi birokrasi dengan komponen remunerasi,  restrukturisasi, dan  rasionalisasi. Sementara pemerintah sedang menghitung remunerasi yang  layak buat seluruh PNS, di sisi lain juga setidaknya mempertimbangkan  membayar hanya bagi PNS yang dibutuhkan saja. Restrukturisasi dan  rasionalisasi memang membebani anggaran negara dalam jangka pendek  karena menyedot pembayaran kompensasi. Namun bila dibandingkan  manfaatnya buat jangka panjang, pemerintah justru dapat menghemat  anggaran belanja pegawai dan mengoptimalkan kinerja pegawai yang  sungguh-sungguh layak bekerja. Tentu perhitungan detil terhadap opsi ini  memerlukan kajian lebih lanjut.
Mengenai rasionalisasi  pegawai, Bappenas pernah mengusulkan jumlah PNS ideal seyogyanya hanya  1.6 juta pegawai. Jika mengacu pada angka tersebut, hitungan moderat ada  3 juta PNS yang layak ditawari pensiun dini. Untuk mereka, diberikan  pilihan-pilihan dengan konsekuensi keuntungan maupun kerugian yang  didasarkan pada kerelaan dan kesadaran. PNS yang berminat melanjutkan  karir diminta uji kompetensi untuk ditempatkan sesuai kebutuhan dan  kemampuan. Bila gagal, maka diikutkan pendidikan profesi yang menentukan  kompetensi PNS tersebut. Jika masih gagal juga, maka ditawari pensiun  dini dengan kompensasi yang memadai.
Bagi PNS dan keluarganya,  opsi-opsi di atas memang pahit karena sudah menikmati romantisme  kejayaan status untuk diganti dengan semangat pengabdian. Masyarakat  butuh kultur birokrasi yang melayani bukan mental operator yang gampang  mempersulit urusan. Untuk yang menolak, silakan minggir. Lagi pula,  siapa suruh jadi PNS?
*PNS di Kementerian Perdagangan Jakarta, Presidium “Koalisi Publik untuk PNS Bersih”
**Inspirasi judul lagu “Siapa Suruh Datang Jakarta” karya James F. Sundah
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar