Selasa, 27 Maret 2012

Siapa Suruh Jadi PNS?**

Mhd. Zamal Nasution*

Tulisan ini dimaksudkan untuk menyadarkan publik bahwa profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) mirip dengan profesi lainnya yang seringkali dicinta sekaligus dibenci, dan yang dipuji sekaligus dihujat. Tetapi yang terpenting bahwa PNS adalah penyelenggara negara ini sehingga mutlak direvitalisasi.

Dualisme Sikap Publik
Lazim terlihat pada setiap musim penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) antrian peserta ujian yang menunjukkan hasrat dan antusiasme besar untuk menjadi PNS. Buat sebagian keluarga, menjadi pegawai negeri merupakan fardhu ‘ain status terhormat terutama bagi penyandang gelar sarjana. Status PNS diperebutkan bahkan bagi yang sudah bekerja sekalipun. Seakan-akan PNS merupakan sejatinya pekerjaan. Mengapa harus PNS? Jawabnya, karena PNS identik dengan kepastian gaji, fasilitas dan tunjangan, ditambah jaminan uang pensiun. Belum lagi pengajuan kredit yang gampang disetujui.

Kecintaan yang begitu tinggi pada profesi PNS dapat ditelusuri hingga ke era kolonial, dimana pribumi berebut menjadi pegawai negeri (ambtenaar) yang sering disebut juga priyayi karena tergiur fasilitas, gaji, hak-hak istimewa, serta penghormatan. Menjadi ambtenaar itu jabatan terhormat, sebab ia menjadi bagian dari kekuasaan (penguasa). Ambtenaar selalu dikawal para centeng dan dipayungi bak pangeran. Pada masa itu memang hanya golongan bangsawan saja yang berhak menjadi ambtenaar, sebelum pendidikan membuka kesempatan bagi golongan non-bangsawan.

Sejatinya PNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian). Untuk itu, negara menyediakan anggaran pembiayaan buat seluruh PNS yang berjumlah sekitar 4.73 juta di seluruh Indonesia. Tahun ini saja, negara mengganggarkan Rp 215,73 triliun atau 22.36 persen dari total belanja pemerintah pusat yang besarnya Rp 965 triliun.

Masalah Kronis
Keberadaan PNS sebagai aparat penyelenggara negara selain dibutuhkan, ternyata juga menjadi masalah. Kuantitas yang begitu besar berdampak pada inefisiensi, seperti dinyatakan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bahwa dari 4,7 juta jumlah PNS hanya lima persen yang kompeten. Berkaitan dengan jiwa melayani ternyata masih banyak PNS yang menganut budaya jika bisa dipersulit kenapa dipermudah. Bahkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan dugaan adanya rekening gendut milik PNS muda berusia kurang dari 30 tahun berisi miliaran rupiah. Maka tak heran jika Presiden SBY akhirnya berkomentar bahwa birokrasi menjadi salah satu penghalang tercapainya pertumbuhan ekonomi yang optimal, selain masalah korupsi dan buruknya infrastruktur.

Permasalahan seputar PNS saat ini, setidaknya bersumber dari tiga persoalan mendasar yakni: (1) penambahan jumlah pegawai tidak diimbangi perluasan volume beban pekerjaan sehingga menyebabkan banyak PNS yang ‘menganggur’; (2) pola insentif yang tidak membedakan pegawai berdasarkan kinerja sehingga timbul pameo ‘pintar goblok pendapatan sama’; (3) pola rekrutmen CPNS yang rawan korupsi kolusi nepotisme (KKN) sehingga menghasilkan PNS berkompetensi rendah. Jadi selain persoalan pendapatan/kesejahteraan, banyak turunan permasalahan yang terjadi akibat persoalan non-materiil yang tidak terjawab hanya dengan kenaikan pendapatan. Studi Bank Dunia tahun 2001 membuktikan asumsi ini, dimana rata-rata pendapatan PNS sudah 42% lebih tinggi dibanding pekerja swasta meski tingkat produktivitasnya lebih rendah.

Pilihan Sulit
Berdasarkan uraian kenyataan di atas, diperlukan suatu upaya untuk membersihkan citra negatif PNS, dan mulai membentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui upaya sistematis, tegas, dan komprehensif. Untuk itu, harus ditumbuhkan motivasi bekerja untuk melayani rakyat, bukan bekerja untuk penguasa seperti di era kolonial. Mekanisme carrot and stick harus tegas ditegakkan agar PNS yang profesional, amanah, dan berani mendapatkan penghargaan. PNS yang bermental pecundang harus dihukum, bukan sebaliknya. Kejadian yang melibatkan oknum PNS secara terang benderang diungkap media massa, dimana tertukarnya carrot kepada oknum PNS yang seharusnya dipukul stick.

Pilihan berikutnya yakni paket reformasi birokrasi dengan komponen remunerasi, restrukturisasi, dan rasionalisasi. Sementara pemerintah sedang menghitung remunerasi yang layak buat seluruh PNS, di sisi lain juga setidaknya mempertimbangkan membayar hanya bagi PNS yang dibutuhkan saja. Restrukturisasi dan rasionalisasi memang membebani anggaran negara dalam jangka pendek karena menyedot pembayaran kompensasi. Namun bila dibandingkan manfaatnya buat jangka panjang, pemerintah justru dapat menghemat anggaran belanja pegawai dan mengoptimalkan kinerja pegawai yang sungguh-sungguh layak bekerja. Tentu perhitungan detil terhadap opsi ini memerlukan kajian lebih lanjut.

Mengenai rasionalisasi pegawai, Bappenas pernah mengusulkan jumlah PNS ideal seyogyanya hanya 1.6 juta pegawai. Jika mengacu pada angka tersebut, hitungan moderat ada 3 juta PNS yang layak ditawari pensiun dini. Untuk mereka, diberikan pilihan-pilihan dengan konsekuensi keuntungan maupun kerugian yang didasarkan pada kerelaan dan kesadaran. PNS yang berminat melanjutkan karir diminta uji kompetensi untuk ditempatkan sesuai kebutuhan dan kemampuan. Bila gagal, maka diikutkan pendidikan profesi yang menentukan kompetensi PNS tersebut. Jika masih gagal juga, maka ditawari pensiun dini dengan kompensasi yang memadai.

Bagi PNS dan keluarganya, opsi-opsi di atas memang pahit karena sudah menikmati romantisme kejayaan status untuk diganti dengan semangat pengabdian. Masyarakat butuh kultur birokrasi yang melayani bukan mental operator yang gampang mempersulit urusan. Untuk yang menolak, silakan minggir. Lagi pula, siapa suruh jadi PNS?

*PNS di Kementerian Perdagangan Jakarta, Presidium “Koalisi Publik untuk PNS Bersih”
**Inspirasi judul lagu “Siapa Suruh Datang Jakarta” karya James F. Sundah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar